Master Bercerita: Pura-pura Bertobat
Kita melatih diri demi mengubah kesesatan menjadi kesadaran. Makhluk awam sering kali diliputi oleh ketidaktahuan, delusi, noda batin, dan kegelapan batin. Sebagai makhluk awam, kita diliputi ketidaktahuan dan kegelapan batin. Karena itulah, kita tidak bisa kembali pada hakikat sejati kita. Kita semua berharap dapat membangkitkan hakikat sejati yang murni.
Saya pernah mengatakan bahwa kebijaksanaan bagai cermin yang sempurna. Cermin ini semula sangat jernih. Namun, karena kita bermalas-malasan, ia pun diselimuti oleh kegelapan batin. Kita telah membangkitkan banyak kegelapan batin yang menyelimuti kebijaksanaan kita. Hakikat kebijaksanaan ini tetap ada dalam diri kita, tetapi bagaimana kita membangkitkannya?
Kita harus melatih diri dengan tekun. Kita harus terus membersihkan dan menyekanya. Agar hakikat sejati kita terbangkitkan dan cermin kebijaksanaan kita bersinar cemerlang, kita harus berusaha sendiri. Asalkan bersedia, kita bisa menjaga diri kita dari pengaruh noda batin orang lain, juga bisa menghapus selapis demi selapis noda batin kita sendiri dengan Dharma.
Setelah mempelajari dan memahami kebenaran, janganlah kita membangkitkan nafsu keinginan. Kita hendaklah berpegang pada sila untuk mencegah timbulnya pikiran buruk. Saat kita bisa menaklukkan noda batin, ketamakan, kebencian, kebodohan, kesombongan, dan keraguan akan perlahan-lahan terkikis hingga akhirnya lenyap dan tidak berkesempatan untuk timbul lagi.
Saat Buddha berada di Rajagrha, Devadatta menggunakan berbagai cara untuk memecah-belah Sangha, bahkan berusaha untuk membunuh Buddha. Suatu kali, dia mengumumkan kepada para pengikutnya bahwa dia akan bertobat di hadapan Buddha. Namun, di dalam hati, dia berpikir, "Jika tidak menerima pertobatanku, Buddha pasti akan dikritik banyak orang karena tidak cukup lapang hati." Jadi, dia pergi ke hadapan Buddha dan berkata, "Aku bersedia bertobat dan kembali bersungguh-sungguh melatih diri di tempat yang tenang. "Mohon maafkan aku."
Buddha lalu berkata, "Jika seseorang tidak tulus, bagaimanapun dia bertobat, dia tidak akan bisa menyerap kebenaran ke dalam hati." Berhubung Devadatta tidak tulus, Buddha pun enggan menerima pertobatannya. Para brahmana dan praktisi ajaran luar mulai mengkritik Buddha. Namun, para anggota Sangha memercayai ucapan Buddha dan segera menjelaskan kepada semua orang, "Devadatta tidaklah tulus."
Mendengar tentang semua ini, Buddha menceritakan sebuah kisah. Berkalpa-kalpa yang lalu, di Kerajaan Kasi terdapat seorang raja bernama Brahmadatta. Dia memiliki hati yang bajik. Dia bukan hanya mengasihi manusia, tetapi juga mengasihi hewan. Karena itu, dia mengeluarkan pengumuman untuk melindungi semua makhluk hidup. Pengumuman itu ditempel di mana-mana.
Ada seorang pemburu yang merasa bahwa saat anak panahnya memelesat dan mengenai hewan buruannya, melihat penderitaan hewan buruannya adalah kebahagiaan terbesarnya. Dia tahu bahwa sang raja merupakan umat Buddha yang taat dan seluruh rakyat di negeri itu menghormati anggota Sangha. Dia lalu mengenakan jubah monastic dan berjalan menuju hutan.
Melihat kedatangan pemburu ini, seekor burung di atas pohon mulai memperingatkan semua hewan di hutan itu. "Jangan percaya pada orang yang baru datang ini. Dia bukanlah monastik. Dia punya niat buruk. Dia adalah seorang pemburu." Burung itu memperingatkan semua hewan di sana untuk waspada terhadap pemburu itu dan tidak mendekatinya.
Di bawah perintah sang raja, semua orang memperlakukan hewan dengan baik dan hewan-hewan sangat dekat dengan manusia. Melihat kedatangan pemburu ini, burung tersebut khawatir hewan lain tertipu. Ia pun terbang ke mana-mana untuk memperingatkan hewan-hewan lain menghindar agar tidak dibunuh oleh pemburu ini.
Bercerita sampai di sini, Buddha berkata, "Tahukah kalian bahwa burung itu adalah kehidupan lampau-Ku, raja itu adalah kehidupan lampau Sariputra, dan pemburu itu adalah kehidupan lampau Devadatta? Saudara sekalian, hati seseorang bisa penuh dengan kegelapan batin dan tipu muslihat. Dia bisa saja berpura-pura baik dengan niat buruk di dalam hatinya."
Orang yang bijaksana hendaknya bisa membedakan benar dan salah. Jika tidak bisa mengetahui tipu muslihat seperti ini, kita akan mudah menyimpang. Menyimpang sedikit saja, kita akan jauh tersesat. Jadi, selain mempraktikkan kesabaran, kita juga harus tersadarkan dan bijaksana, baru bisa menapaki jalan menuju kesadaran tanpa menyimpang sedikit pun.
Kita harus bersungguh hati untuk membebaskan diri dari penderitaan, berhenti membangkitkan noda dan kegelapan batin, serta melatih diri dengan tekun. Kita harus bersungguh hati dalam semua hal ini. Kita harus berpikiran benar dan bersungguh-sungguh mengamati orang lain.
Di dunia yang penuh kekeruhan ini, kita harus mempraktikkan kesabaran, baru bisa menjalankan Empat Ikrar Agung dengan Empat Pikiran Tanpa Batas. Demi mewujudkan ikrar yang sama dengan ikrar para Buddha ini, kita hendaklah bersungguh-sungguh melatih diri. Untuk itu, kita harus lebih bersungguh hati setiap waktu.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, Heryanto (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah