Master Bercerita: Raja Tikus dan Anjing Rakun

Buddha selalu menggunakan perumpamaan untuk membimbing para murid-Nya. Di dalam Kitab Jataka ada sebuah kisah. Saat berada di Jetavana, Buddha tinggal bersama para murid-Nya. Suatu pagi, para anggota Sangha berkumpul untuk merundingkan seorang bhiksu yang selalu bertutur kata manis dan berucap masuk akal, tetapi pada kenyataannya, sikapnya dan ucapannya sangat berbeda. Dia sering berbohong dan melakukan kekeliruan.

Sangha berpikir tidak pantas ada bhiksu seperti ini di dalam kelompok mereka. Karena itu, mereka berpikir untuk  melaporkan hal ini kepada Buddha. Setelah mendengarnya, Buddha kemudian duduk dan berkata kepada Sangha, "Aku akan menceritakan sebuah kisah." Sangha pun duduk.


Buddha berkata, "Ini adalah tabiat dari bhiksu tersebut. Dia berniat untuk melatih diri, tetapi sulit untuk mengubah tabiat buruknya. Tabiat ini bukan hanya dimilikinya pada kehidupan ini saja, tetapi juga pada kehidupan sebelumnya. Selain di alam manusia, tabiat buruk ini juga dimilikinya saat terlahir di alam binatang."

Sangha sangat tertarik untuk mendengarnya. Mereka lalu bertanya kepada Buddha. Buddha merenung secara mendalam, lalu mulai bercerita kepada para murid-Nya. Dahulu ada seekor raja tikus yang memimpin sekelompok tikus. Mereka hidup dengan bebas di hutan. Setiap pagi, mereka keluar mencari makan. Saat senja, mereka pun kembali ke sarang. Mereka menjalani hidup dengan teratur.

Suatu hari, datanglah seekor anjing rakun. Karena dikejar dan diburu di hutan lain, anjing rakun ini berlari ke hutan ini dengan kelelahan. Anjing rakun ini berpikir, "Bagaimana caraku bertahan hidup di hutan ini?" Tiba-tiba, ia melihat sekelompok tikus. Raja tikus memimpin di depan dan kawanan tikus mengikuti dengan rapi memasuki gua mereka. Anjing rakun ini mulai berencana untuk memburu mereka.

Pada keesokan paginya, si anjing rakun berdiri di atas sebuah batu di seberang gua. Ia mengangkat ketiga kakinya, wajahnya menghadap matahari, dan ia membuka mulutnya. Ia berdiri di sana tanpa bergerak. Saat memimpin kawanannya keluar dari gua, raja tikus melihat anjing rakun tersebut. Karena penasaran, ia lalu mendekat untuk bertanya, "Dari mana engkau berasal? Mengapa engkau berdiri dengan satu kaki? Mengapa wajahmu menghadap matahari? Mengapa engkau membuka mulut?"


Anjing rakun menjawab, "Aku datang dari pegunungan timur. Karena tidak tega menambah beban bumi, aku cukup berdiri dengan satu kaki. Aku menghadap matahari untuk menghirup energinya. Aku membuka mulut karena tidak memakan apa pun kecuali angin." Raja tikus sangat tersentuh mendengarnya. Dia berkata kepada kawanan tikus, "Kita harus menghormati orang yang berbudi luhur." Mereka memberi hormat kepada si anjing rakun setiap pagi dan senja.

Raja tikus memimpin di depan dan kawanan tikus mengikuti. Setiap kali, tikus yang paling ujung selalu menghilang. Setelah berselang waktu yang lama, raja tikus mulai berpikir, "Dahulu gua ini sangat padat oleh tikus, mengapa perlahan-lahan gua ini semakin lapang? Apakah jumlah tikusnya berkurang?" Seorang tikus juga memberi tahu hal ini kepada raja tikus. Raja tikus merasa sangat aneh. Ia pun mulai mencurigai anjing rakun.


Keesokan paginya, saat keluar dari gua, kawanan tikus berjalan di depan dan raja tikus mengikuti di belakang. Anjing rakun tetap bersiap sedia di sana. Seperti biasa, ia berusaha memangsa tikus yang terakhir. Namun, raja tikus sangat cekatan. Ia segera berlari dan mulai berteriak. Anjing rakun itu mulai mengejar raja tikus. Seluruh kawanan tikus pun berbalik untuk menyerang anjing rakun. Akhirnya, mereka berhasil menaklukkan anjing rakun tersebut. Raja tikus berkata kepada anjing rakun, "Engkau menipu orang lain demi bertahan hidup. Ini sungguh hal yang memalukan."

Bercerita sampai di sini, Buddha berkata kepada para bhiksu, "Tahukah kalian? Anjing rakun itu adalah bhiksu yang kalian katakan itu. Dia suka berbohong dan menipu orang lain. Raja tikus itu adalah Aku yang sekarang, Buddha Sakyamuni. Aku selalu membimbingnya dengan penuh cinta kasih saat dia melakukan kekeliruan. Namun, tabiat buruk sulit untuk diubah."


Tabiat buruk sulit untuk diubah. Bhiksu ini juga memiliki akar kebajikan karena dapat terlahir di masa yang sama dengan Buddha. Namun, karena sulit mengubah tabiat buruk, dia menjadi tidak disukai orang. Kisah ini mengingatkan kita untuk senantiasa mengingatkan diri. Kita harus menjaga pikiran dengan baik dan mengikis tabiat buruk kita. Kita harus senantiasa berhati-hati dan mengubah tabiat buruk. Sungguh, kita harus selalu mengingatkan diri. 

Cara kita berterima kasih dan membalas budi baik bumi adalah dengan tetap bertekad melestarikan lingkungan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -