Master Bercerita: Sramanera Cilik dan Permaisuri
Setiap orang memiliki hakikat sejati yang sama dengan Buddha. Buddha sudah mengatakan bahwa hati, Buddha, dan semua makhluk pada hakikatnya tiada perbedaan. Sejak masa tanpa awal, semua makhluk memiliki hakikat sejati ini. Hakikat sejati yang murni dan jernih ini ada di dalam batin setiap orang. Namun, sebagai makhluk awam, begitu sebersit niat menyimpang timbul, hakikat sejati kita pun seakan hilang dan tertutupi.
Sesungguhnya, hakikat ini tidak hilang, hanya saja seakan tertutupi kegelapan batin. Jadi, kini kita mempelajari ajaran Buddha untuk kembali pada hakikat sejati ini. Dengan Dharma, kita membimbing diri kita ke jalan pulang menuju hakikat sejati ini. Untuk itu, kita harus bersungguh hati dalam memahami ajaran Buddha.
Sejak masa tanpa awal, kita semua memiliki hakikat yang sama, hanya saja batin kita telah tercemar. Jangan kita meremehkan anak kecil. Sesungguhnya, anak kecil juga bisa menapaki jalan kebenaran dan memiliki kualitas pelatihan yang tinggi.
Di masa Kerajaan Maurya, Raja Asoka menguasai hampir seluruh India. Beliau sangat menjunjung ajaran Buddha. Beliau juga sangat menghormati anggota Sangha. Suatu ketika, suatu wabah penyakit merebak di India. Raja Asoka sangat khawatir jika wabah itu menyebar masuk ke ibu kota. Jadi, beliau meminta akses ke ibu kota ditutup. Beliau bahkan meminta Sangha di vihara untuk mengutus bhiksu ke istana guna menenangkan hati semua orang.
Seorang sramanera cilik diutus untuk tujuan tersebut. Dia baru berusia delapan tahun, tetapi telah mencapai tingkat kesucian Arahat. Sang permaisuri merasa sramanera cilik itu sangat menggemaskan. Permaisuri sangat menyukainya. Dia lalu membentangkan tangan untuk memeluknya. Sang sramanera mundur dan menolaknya.
Sang permaisuri berkata, "Kamu masih muda dan saya menganggapmu bagai putraku sendiri. Salahkah jika seorang ibu memeluk anaknya atas dasar rasa sayang?" Sramanera ini dengan lugas menjawab, Sramanera ini dengan lugas menjawab, "Nyonya, ketamakan dan kemelekatan akan cinta bermula dari sebersit pikiran yang halus. Ini harus dihindari. Jangan sampai menjadi bahan gunjingan orang." Suara mereka terdengar oleh Raja Asoka. Beliau pun segera menghampiri mereka.
Sramanera cilik ini kembali berkata, "Dalam hal apa pun, kita harus waspada. Sebuah penyakit kecil dapat mewabah dan menular kepada banyak orang. Begitu pula cinta yang dimulai oleh sedikit nafsu, dapat menjadi bagai titik api yang membakar hutan, bagai tetes air yang melubangi batu. Begitu kita melanggar sila, berbagai penyakit akan timbul. Saya telah terbebas dari noda batin. Saya tidak takut pikiran saya tercemar. Namun, tindakan Nyonya tadi mudah membangkitkan noda dan kegelapan batin."
Mendengarnya, Raja Asoka amat tersentuh. Sang permaisuri juga merasa malu dan bertobat di hadapan sramanera itu serta semakin menghormati ajaran Buddha. Beginilah para umat menjalankan sila 100 tahun setelah Buddha wafat. Bahkan, seorang sramanera cilik juga memiliki kualitas pelatihan diri seperti itu.
Bayangkan, dia sungguh murni. Sesungguhnya, kualitas diri sramanera itu juga terbina sejak berkalpa-kalpa yang lampau. Dia telah melatih diri dalam masa yang panjang sehingga mampu berpikiran dewasa di usia semuda itu, mampu menyerap ajaran Buddha, dan mampu menjaga sila dengan baik. Demi mencegah penyebaran wabah, Raja Asoka menutup akses ke ibu kota. Beliau juga mengundang anggota Sangha untuk membabarkan Dharma dan menenangkan warga.
Tak disangka sramanera cilik yang datang bukan hanya menenangkan batin orang-orang, tetapi juga membimbing semua orang untuk mengendalikan sumber penyakit di dalam batin. Ini terjadi di zaman Raja Asoka. Sramanera cilik itu begitu murni dan tekun. Dia sudah membangkitkan tekad Mahayana sejak berbagai kehidupan lampau. Dia sudah membangkitkan Empat Ikrar Agung dan bertekad untuk menyelamatkan semua makhluk.
Anak semuda itu mampu melakukannya, maka kita pun harus bersungguh hati menyelami ajaran Buddha. Kita semua memiliki hakikat kebuddhaan yang sama. Semua orang memiliki hati yang murni bagai anak kecil. Kini kita harus kembali kepada kemurnian itu. Kita harus membangkitkan tekad Mahayana dan mengembangkan Empat Ikrar Agung untuk menyelamatkan semua makhluk. Ini bukan tidak mungkin.
Tetesan air dapat melubangi batu, setitik api dapat membakar seluruh hutan. Demikian pula, saat api kegelapan batin timbul, ia dapat membakar keseluruhan hutan. Karena itu, dibutuhkan pikiran yang teguh bagaikan tetesan air yang melubangi batu. Jadi, ini bukan tidak mungkin selama kita dapat selalu bersungguh hati.