Master Bercerita: Tuan Tanah yang Kikir
Saat ini, yang perlu dilakukan ialah menyemangati orang-orang untuk bervegetaris. Kita harus menenangkan pikiran, membangkitkan ketulusan, dan bervegetaris. Pertama-tama, janganlah kita membunuh hewan ataupun mengonsumsi daging hewan. Kedua, kita harus mengajak orang-orang untuk bervegetaris.
Dengan mengonsumsi makanan vegetaris yang cukup untuk kebutuhan gizi tubuh kita dan bertutur kata baik, berarti kita menciptakan berkah. Dengan memupuk berkah dan memutus keburukan, barulah kita dapat melenyapkan ketamakan, kebencian, dan kebodohan.
Jika dapat segera mengendalikan nafsu makan terhadap daging, kita secara alami dapat melenyapkan ketamakan. Untuk melenyapkan kebencian, kita harus merenungkan kembali pernahkah kita menyinggung perasaan orang lain, pernahkah kita berselisih dengan orang lain, dan adakah simpul di dalam batin kita. Inilah ketamakan, kebencian, dan kebodohan.
Ada banyak orang yang hidup di tengah delusi, tidak bisa menyerap Dharma ke dalam hati, bahkan memfitnah ajaran Buddha dan orang yang berbuat baik. Adakah orang seperti ini? Ada. Inilah yang disebut kebodohan. Mereka tidak memahami kebenaran dan tidak tahu untuk turut bersukacita saat melihat orang lain berbuat baik.
Sebagian orang berkata, "Saya tidak pernah menyinggung perasaan orang lain. Saya juga tidak melakukan hal-hal yang membuat saya merasa bersalah." Coba renungkan kembali dengan saksama. Dalam keseharian, bagaimana kita bertahan hidup? Kita menelan makhluk bernyawa. Banyaknya nyawa hewan yang kita renggut dan telan telah membentuk kekuatan karma buruk. Kebenaran ini harus sungguh-sungguh kita pahami.
Ada sebuah kisah seperti ini.
Dahulu, ada seorang pria kaya. Orang-orang menyebutnya Si Tuan Tanah karena dia sangat kaya. Dia memiliki banyak sawah dan rumah yang disewakan. Sepanjang hari, yang dilakukannya hanyalah menagih biaya sewa. Dia selalu menagih sampai dapat.
Para petani sulit untuk memperoleh hasil panen yang memuaskan. Kerja keras sepanjang tahun bisa saja dihancurkan oleh topan atau banjir. Jika padi rusak, kerja keras sepanjang tahun pun sia-sia. Jika demikian, petani tidak bisa membayar biaya sewa.
Namun, tuan tanah itu sangatlah kikir. Dia selalu ngotot untuk menagih biaya sewa. Jika tidak, tahun berikutnya, para petani harus membayar dua kali lipat. Ini membuat kehidupan para petani makin sulit dan kekurangan. Akan tetapi, jika tidak bertani, mereka tidak dapat makan. Singkat kata, tuan tanah itu berpikiran picik.
Suatu hari, dia jatuh sakit. Saat masih sakit ringan, dia tidak rela berobat. Saat sakitnya menjadi sakit berat dan membuatnya sangat menderita, dia baru mengeluarkan biaya besar untuk berobat.
Tabib meresepkan banyak obat. Awalnya, dia tidak rela mengeluarkan uang untuk membeli obat. Kemudian, rasa sakitnya menjadi tidak tertahankan sehingga dia harus menghabiskan semua uangnya dan mulai menjual tanahnya untuk pengobatan.
Penderitaan saat terserang penyakit membuatnya memahami bahwa harta kekayaan tidaklah penting. Dia merasakan penderitaan yang tak terkira, bagai berada di neraka. Begitu memejamkan mata, dia melihat sekelompok orang miskin mengelilingi dan mencacinya sambil menunjuknya. Hampir seribu orang menunjuknya dan mencacinya.
Ada juga sekelompok hewan yang menerkamnya serta hendak mencabik-cabik tubuhnya, menggerogoti tulangnya, dan memakan dagingnya. Dia sangat menderita. Jadi, dia tidak berani memejamkan mata. Begitu dia memejamkan mata, kondisi seperti itu akan muncul di benaknya.
Saat tertidur, dia bagai berada di neraka karena dia bisa melihat alat penyiksaan di neraka. Jadi, dia tidak bisa istirahat dengan tenang. Fisik dan batinnya sangat tersiksa. Penderitaannya sungguh tidak tertahankan, tetapi tiada seorang pun yang bisa membantunya. Karena itu, timbul niat untuk bertobat.
Dia mengenang masa lalu dan bertobat dari lubuk hatinya. Dia bertekad dan berikrar untuk menjual semua harta kekayaannya dan menyumbangkan segala sesuatu yang dimilikinya. Dia juga menaati sila, bervegetaris, mempelajari ajaran Buddha, dan bertobat setiap hari.
Setelah dia mempelajari ajaran Buddha, kesehatannya perlahan-lahan pulih. Dia juga bertobat dari lubuk hatinya dan tekun melatih diri. Demikianlah kisah ini.
Jadi, saya terus berpikir, "Bukankah orang zaman sekarang juga demikian?" Sesungguhnya, berapa banyak karma buruk yang telah kita akumulasi?
Manusia juga mengakumulasi sampah sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Saat lingkungan tercemar dan pikiran manusia tidak selaras, bencana akan kerap terjadi. Karena itulah, kita menyebutnya karma buruk kolektif semua makhluk. Kini alam tengah melakukan perlawanan. Karma buruk kolektif semua makhluk juga tengah berbuah. Saat ini, manusia tidak bisa berbuat apa-apa selain bertobat dengan tulus.
Saya berharap kita semua dapat bertekad untuk mengerahkan kekuatan. Membawa manfaat bagi sesama dengan welas asih dapat menenteramkan fisik dan batin kita. Kita harus menggenggam setiap waktu untuk menghimpun lebih banyak niat baik.
Sumber: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV)
Penerjemah: Hendry, Marlina, Shinta, Janet, Heryanto (DAAI TV Indonesia)
Penyelaras: Khusnul Khotimah