Master Cheng Yen Bercerita: Menganggap yang Tidak Nyata Sebagai Nyata
Suatu hari di zaman Buddha hidup, Buddha memimpin sekelompok Sangha melewati sebuah desa. Melihat sekelompok Sangha agung yang dipimpin oleh Buddha, para warga desa sangat gembira dan mulai berjalan mengelilingi. Buddha lalu memilih duduk di bawah sebuah pohon besar dan mulai membabarkan Dharma. Berhubung berhadapan dengan umat perumah tangga, Buddha pun menceritakan sebuah kisah.
Buddha berkata, “Tahukah kalian? Hati semua orang dipenuhi delusi. Mereka menganggap ilusi sebagai kenyataan. Karena menganggap yang tidak nyata sebagai nyata, hati mereka penuh delusi. Karena itulah, banyak noda batin terbangkitkan sehingga mendatangkan penderitaan.” Buddha lalu melanjutkan, “Saya akan menceritakan sebuah kisah pada kalian.”
Ada sepasang suami istri yang masih sangat muda dan berparas baik. Suatu hari, saat sedang makan, sang suami terus melihat istrinya. Semakin melihatnya, dia semakin merasa istrinya sangat cantik. Dia berpikir dalam hatinya, “Jika dapat meminum anggur pada saat ini, maka alangkah baiknya.” Memahami maksud suaminya, sang istri berkata, “Saya akan pergi mengambil anggur.” Dia membuka guci tempat fermentasi anggur. Permukaan anggur itu sangat tenang dan jernih.
Saat ingin mengambil anggur, dia melihat di dalam guci ada seorang perempuan yang sangat cantik. Saat dia bergerak, perempuan di dalam guci ikut bergerak. Saat dia tersenyum, perempuan itu pun ikut tersenyum. Setiap gerakan perempuan itu sangat indah dan anggun. Dia berpikir, “Ternyata sebelum menikahi saya, suami saya sudah menyimpan wanita secantik ini di dalam rumah.” Dengan sangat marah, sang istri datang ke ruang makan untuk bertengkar dengan suaminya. “Kamu sudah punya perempuan, mengapa masih menikah dengan saya?” Sang suami juga sangat marah dan berkata, “Mengapa tiba-tiba kamu bertengkar dengan saya? Apa yang ada di dalam guci anggur?”
Saat melihat ke dalam guci, dia melihat seorang laki-laki tampan. Setelah itu, mereka berdua pun bertengkar hebat. Sang suami memiliki seorang teman yang merupakan praktisi Brahmana. Temannya itu datang dan bertanya, “Apa yang membuat kalian bertengkar?” Mereka berdua memiliki alasan masing-masing. “Apa yang kalian lihat?” Brahmana itu pun pergi melihatnya.
Setelah melihatnya, Brahmana itu berkata, “Kamu bilang kamu hanya mempelajari dan mendengar ajaran saya. Ternyata tidak benar. Kamu memiliki seorang guru lain di rumah.” Brahmana itu merasa sangat marah dan segera pergi meninggalkan mereka. Pasangan suami istri itu masih terus bertengkar.
Seorang bhiksu yang melewati tempat itu juga mendengar suara pertengkaran mereka. Bhiksu itu pun melihat ke dalam guci anggur dan tersenyum. Dia lalu berbalik dan berkata kepada suami istri itu, “Kalian jangan bertengkar lagi. Saya akan mengundang orang di dalam guci untuk berbicara dengan kalian.” Suami istri itu pun pergi bersamanya. Bhiksu itu mengangkat sebuah batu untuk memecahkan guci itu. Di dalamnya tidak ada perempuan yang cantik dan laki-laki yang tampan. Sepasang suami istri itu baru menyadari bahwa yang terlihat oleh mereka hanyalah bayangan. Karena sifat posesif, hati mereka terbakar oleh api kebencian, api cemburu, dan kecurigaan. Api kebencian membuat mereka bertangkar.
Lihatlah betapa kelirunya pikiran manusia. Usai menceritakan kisah ini, Buddha berkata kepada semua orang, “Tahukah kalian? Kehidupan ini sangat singkat. Kehidupan yang singkat ini juga penuh ilusi. Sama seperti bayangan di dalam guci. Bayangan di dalam guci saja bisa membuat orang bertengkar. Contohnya sepasang suami istri itu. Hanya karena bayangan di dalam guci, mereka bertengkar hingga membuat keluarga, dan banyak orang merasa tidak tenang. Mereka membuat banyak orang keliru.”
Buddha melanjutkan, “Rupa, perasaan, persepsi, dorongan karma, dan kesadaran dapat membawa kekeliruan. Segala objek luar dapat membangkitkan nafsu keinginan kita dan memicu bangkitnya ketamakan, kebencian, kebodohan, kesombongan, dan keraguan. Segala persepsi dan perasaan muncul akibat kondisi luar. Itu membuat pikiran kita menjadi tak seimbang dan tersesat. Karena pikiran yang tersesat, kita melakukan banyak hal yang dapat menciptakan karma buruk. Semua ini bersumber dari pikiran.”
Buddha lalu berpesan, “Kehidupan kita hanya puluhan tahun lamanya. Lihatlah selama puluhan tahun ini, berapa banyak karma buruk yang kita ciptakan. Ini tidak kita sadari. Kehidupan manusia sangat singkat dan penuh kekal. Akibat ketamakan, kebencian, kebodohan yang tiada batasnya maka kita terus mengalami kelahiran kembali. Jadi, kita harus sangat berhati-hati. Jika tidak berhati-hati, kita akan mudah terpengaruh oleh kondisi luar.”
Setelah mendengar ajaran Buddha, semua orang menyadari bahwa ternyata dalam hidup ini mereka sering berperhitungan dengan keluarga. Saat anak tidak patuh, kita merasa marah. Suami yang mendengar berpikir, “Benar juga. Saat bekerja seharian di luar dan berhadapan dengan orang lain, saya sering menaruh rasa curiga dan ragu. Saat pulang ke rumah, kami memiliki tuntutan tinggi terhadap istri dan khawatir terhadap anak-anak.”
Sungguh, kehidupan ini sangat singkat dan penuh ilusi. Setelah mendengarnya, hati setiap orang pun terbuka. Lewat kisah ini, Buddha menunjukkan kepada kita bahwa dalam kehidupan sehari-hari, pikiran kita gampang berubah-ubah. Saat ini, kita menginginkan hal ini, selang beberapa waktu kita menginginkan hal lain. Karena itu, terhadap sesama, kita tidak dapat hidup harmonis dan sering perhitungan. Delusi ini bersumber dari pikiran kita sendiri. Kini kita harus kembali pada sifat hakiki dan senantiasa menjaga pikiran dengan baik.
Gambar: Program Master Cheng Yen Bercerita (DAAI TV Indonesia).