Menyalakan Pelita Batin
Di tengah kondisi yang hening ini, apakah setiap orang bisa melihat ke dalam diri dengan jelas? Apakah kita memperhatikan setiap tarikan napas kita? Jika tarikan napas yang kasar saja tidak bisa kita perhatikan, bagaimana kita menilik kondisi batin kita? Karena itu, kita harus selalu meningkatkan kewaspadaan.
Adakalanya, untuk bersikap layaknya manusia sungguh tidak mudah. Seseorang mungkin terlihat sangat berkepribadian baik, tetapi saat belenggu noda batin bangkit, mereka juga bisa kehilangan kepribadian baik. Karena itu, kita harus menggunakan kebijaksanaan untuk membimbing dan berinteraksi dengan mereka. Saat ada orang yang menderita, kita harus mengembangkan cinta kasih dan welas asih untuk menyelamatkan mereka.
Sesuai dengan kemampuan dan jenis makhluk hidup yang akan dibimbing, kita membangkitkan hati Bodhisatwa dan menjalankan puluhan ribu praktik. Artinya, kita menggunakan berbagai jenis cara untuk membimbing semua makhluk. Berapa banyak waktu yang diperlukan? Tidak terhingga. Dahulu, kini, dan kelak, selama jangka waktu yang panjang ini, kita harus membangun tekad yang teguh.
Sama seperti saat ada satu orang menyalakan sebatang lilin, lalu ada banyak orang ikut menyalakan lilin dari api lilin itu. Jika demikian, tempat yang gelap akan berubah menjadi terang. Sama halnya dengan Dharma. Kita harus mewariskan Dharma kepada puluhan ribu orang, bahkan kepada orang yang tidak terhingga. Lalu, orang-orang itu kembali mewariskan Dharma kepada lebih banyak orang. Sama seperti sebatang lilin bisa menyalakan pelita yang tidak terhingga.
Lebih dari 100 tahun yang lalu, di Jepang ada sebuah kuil. Di sana ada seorang bhiksuni yang sudah berusia lanjut. Dia sangat berharap ada orang yang bisa mewariskan ajarannya dan meneruskan kuilnya. Di desa, ada sebuah keluarga yang memiliki seorang anak perempuan yang menggemaskan. Sejak kecil, dia sering ke kuil itu untuk menemani bhiksuni itu.
Mendengar bhiksuni itu mengutarakan harapannya untuk mencari seorang penerus kuil agar keyakinan para umat tidak terputus, anak perempuan itu membangun ikrar luhur. Orang tuanya juga menyetujui anak perempuan itu meninggalkan keduniawian. Beberapa tahun kemudian, gurunya itu memanggilnya dan berkata padanya, "Saya tahu waktu saya sudah tidak banyak. Kamu harus lebih bersungguh hati untuk menyalakan satu pelita setiap hari."
Beberapa waktu kemudian, gurunya meninggal dunia. Bhiksuni itu lalu menjalankan perkataan gurunya untuk menyalakan satu pelita setiap hari. Dia juga sangat giat membabarkan Dharma di desanya. Banyak anak muda yang terinspirasi untuk menjadi muridnya. Seiring waktu berlalu, dia terus menyalakan pelita setiap hari. Pelita yang dinyalakannya tersusun dari depan altar hingga ke luar kuil. Dalam sekejap mata, 50 tahun sudah berlalu. Tubuhnya mulai melemah.
Suatu hari, dia memanggil beberapa muridnya dan berkata, "Tahukah kalian setiap hari saya menyalakan sebuah pelita?"
"Ya."
"Apakah kalian tahu maknanya?"
"Tidak tahu. Apakah memberi persembahan kepada Buddha?"
"Ya, memberi persembahan kepada Buddha."
"Guru saya meminta saya untuk menyalakan pelita batin setiap hari. Namun, saya sering berpikir apa sesungguhnya tujuan pelatihan diri saya? Apakah hanya untuk menyalakan pelita setiap hari? Apakah itu membawa manfaat bagi pelatihan diri saya dan para warga desa? Kini saya sepertinya mengerti."
Muridnya bertanya, "Bukankah itu metode pelatihan diri?" Bhiksuni itu menggelengkan kepala, lalu berkata, "Guru saya meminta saya untuk menyalakan pelita batin. Namun, saya hanya menyalakan pelita berwujud di luar. Hati saya terkadang merasakan sukacita dalam Dharma, terkadang penuh dengan noda batin. Sama seperti pelita itu yang terkadang bisa padam. Saya tidak sungguh-sungguh menyalakan pelita batin. Pelita batin yang sesungguhnya tidak akan padam selamanya. Kalian bantulah saya menghitung berapa banyak pelita yang sudah saya nyalakan."
Muridnya segera menghitung pelita dari depan altar hingga ke depan kuil. Jumlah keseluruhannya adalah 18.080 pelita. Bhiksuni itu menghela napas dan berkata, "Selama lebih dari 50 tahun ini, saya hanya menyalakan pelita yang berwujud. Setelah saya meninggal, pelita di luar akan padam. Seiring padamnya pelita di luar, pelita di dalam batin saya masih belum menyala." Bhiksuni itu sangat menyesal. Lalu, dia pun meninggal dunia.
Meski kisah ini terjadi di sebuah kuil di Jepang pada 100 tahun yang lalu, tetapi kita bisa memetik hikmah darinya. Gurunya memintanya untuk menyalakan pelita batin. Namun, apakah dia sudah melakukannya? Lima puluh tahun kemudian, dia baru menyadari hal ini.
Pelita batinnya belum menyala, tetapi di luar sudah ada 18.080 pelita yang nyala. Apakah itu membawa manfaat bagi umat manusia? Dalam melatih diri, yang terpenting adalah menyalakan pelita batin dan terus mewariskannya kepada orang lain. Saat bertemu kata-kata baik, kita harus mewariskannya kepada orang lain.
Kita harus selalu bertutur kata baik agar hati setiap orang selalu hangat bagaikan musim semi. Sepatah kata yang baik dapat membuat orang merasakan sukacita dalam waktu yang panjang dan menginspirasi mereka untuk berkontribusi. Jadi, kita harus memutar roda Dharma untuk membimbing banyak orang agar orang-orang itu bisa menyalakan pelita batin mereka.
Ingatlah untuk selalu melihat ke dalam diri. Jika tidak menyalakan pelita batin, kita tidak akan menyadari tarikan napas kita. Jika tarikan napas saja tidak kita perhatikan, bagaimana dengan setiap pikiran yang bangkit? Jadi, kita harus lebih bersungguh hati.