Si Kera yang Baik Hati
Ada ungkapan berbunyi, “Tubuh
adalah sarana untuk melatih diri.” Bisa terlahir sebagai manusia dan menyadari
bahwa setiap orang memiliki hakikat kebuddhaan, dan menyadari bahwa setiap
orang memiliki hakikat kebuddhaan, kita harus memanfaatkan tubuh ini untuk
melatih diri sebaik mungkin.
Sejak dahulu kala, pikiran kita sudah terus tercemar. Di dalam hati setiap orang tersimpan banyak kekotoran
batin. Kekuatan baik dan buruk sering bergejolak di dalam hati
kita. Saat mengetahui sesuatu adalah baik, kita ingin mempelajarinya, tetapi
sering kali ada hal buruk yang ingin menarik kita.
Jadi, kekuatan baik dan
buruk bagai tengah tarik-menarik. Jika kekuatan baik lebih besar, maka kita akan tertarik ke arah yang baik, sebaliknya jika kekuatan
buruk lebih besar, maka kita akan tertarik ke arah sana dengan cepat sehingga pikiran kita menjadi tercemar. Jadi, segalanya bergantung pada
pikiran.
Dalam menghadapi kondisi luar, meski di sekitar kita terdapat banyak
godaan, kita tetap harus mempertahankan niat yang murni dan hati yang jernih. Dengan demikian, barulah
kita bisa mengubah pikiran kita yang sudah tercemar agar kembali pada
kemurnian.
Ada seekor kera. Meski ia
adalah seekor kera, tetapi dengan sifat hakikinya yang bajik, ia giat melatih diri di gunung. Ia memiliki hati yang sangat
baik. Ia mengasihi semua hewan di hutan. Suatu hari, ia memetik buah di pohon. Ia seakan
mendengar suara orang berteriak minta tolong. Dalam hatinya berpikir, “Aku
tidak tega jika tak menolongnya.” Jadi, ia pun terus mencari dengan mengikuti asal
suara tersebut.
Ia menemukan seorang pria, tetapi
untuk menolongnya, sangatlah tidak mudah karena tebing sangat
curam dan dalam.
Meski harus
mengorbankan nyawa sendiri untuk menolong pria itu, ia tetap bersedia. Karenanya,
ia memikirkan cara untuk turun tebing. Dengan memegang ranting
pohon, akar tanaman, dan tonjolan batu pada tebing, ia menuruni tebing dengan
menempuh bahaya.
Melihat pria itu terluka, ia
berkata, “Mari, naiklah ke atas pundakku. Aku
akan menggendongmu ke atas.” Tebing itu sangat curam dan tonjolan batunya
sangat besar,
untuk mendaki seorang diri saja sangat
sulit, terlebih lagi menggendong seseorang di pundak. Akhirnya
mereka tiba di atas tebing.
Si kera lalu meletakkan pria itu. Ia sendiri
merasa sangat kelelahan. Ia berkata pada pria itu, “Kamu sudah aman.” “Pergilah.” Lalu,
ia tertidur di bawah pohon. Pria itu sangat berterima
kasih. Namun,
dia juga sangat kelelahan dan
kelaparan.
Melihat kera itu tertidur dengan lelap, pria itu berpikir, “Hewan
memang terlahir untuk dimakan oleh manusia. Jika
aku membunuh kera ini untuk
dijadikan santapan, maka aku akan bertenaga.” Setelah mengambil keputusan, dia
mengambil sebuah batu dan melemparnya ke arah si kera. Kepala si kera terluka. Ia pun naik ke atas pohon. Dari atas pohon, ia menatap pria itu sambil menangis.
Ia berpikir, “Mengapa hati
manusia begitu kejam? Aku bisa menolongnya dengan tenagaku, tetapi belum bisa menggugahnya
dengan kebajikanku. Aku harus segera melatih diri agar memiliki
kebajikan yang sempurna sehingga
kelak aku bisa membimbingnya.” Inilah hati yang jernih dan murni. Sakyamuni Buddha Kera itu adalah Buddha
Sakyamuni pada salah satu kehidupan-Nya.
Lihatlah, dari kehidupan ke kehidupan, Buddha Sakyamuni datang ke
dunia dengan hati yang jernih dan murni. Inilah hati penuh cinta kasih. Kondisi apa pun yang dihadapi, Beliau tetap mempertahankan hati
penuh cinta kasih dan
batin yang jernih. Tak peduli apa pun kondisi yang dihadapi, hati-Nya tetap tidak tercemar.
Kera itu tak berpikir, “Aku
sudah menolongmu. Mengapa kamu masih mau membunuhku?” Ia sama
sekali tidak marah, juga sama sekali tidak benci. Ia tetap
merasa iba kepada semua makhluk. Melihat manusia begitu diliputi kebodohan, ia merasa sangat iba.
Karenanya, ia kembali
berikrar kelak
akan membimbing pria itu. Tak peduli lahir sebagai manusia ataupun
hewan, meski dalam wujud yang berbeda-beda, Buddha tetap memiliki satu
sifat hakiki yang sama. Dengan
mempertahankan hati yang
jernih dan murni, Beliau bisa mengubah kekeruhan di sekitar-Nya menjadi jernih.
Inilah pelatihan diri.
Setiap hari kita berhadapan dengan orang dan masalah di dunia, manakah yang tidak membuat kita risau? Manakah yang tidak membuat
kita tak berdaya? Jika bisa selalu mempertahankan kondisi batin yang jernih, maka kita tidak akan terpengaruh oleh kondisi
luar. Kita juga akan bersyukur setiap saat.
Jadi, mempelajari ajaran Buddha sangatlah mudah. Kita hanya perlu memahami perpaduan sebab dan kondisi. Sebab adalah benih di dalam batin, sedangkan kondisi adalah lingkungan luar yang kita temui. Jika kita bisa mengubah jalinan jodoh buruk menjadi jalinan jodoh baik, maka hubungan antarmanusia dan segala sesuatu akan harmonis.