Tungku Api dan Alam Surga
Dahulu saya sering berkata bahwa kita harus mencapai pencerahan sempurna yang penuh kebijaksanaan. Ini adalah tujuan kita. Selama lebih dari 40 tahun, Buddha menggunakan kebijaksanaan untuk membimbing kita secara perlahan-lahan agar memahami penderitaan hidup dan dari mana penderitaan berasal. Kebenaran ini tak terlepas dari hukum sebab akibat.
Kita harus percaya bahwa saat menanam benih baik, maka kita akan menuai buah baik. Begitu pula saat menanam buah buruk, kita akan menuai buah yang buruk. Kita harus mengetahuinya dengan jelas. Jadi, kita harus melatih diri dengan baik dan memilih arah yang benar tanpa menyimpang sedikit pun.
Saat sudah berada di jalan yang benar, janganlah kita merasa ragu dan enggan melangkah maju. Kita harus memahami prinsip kebenaran dan melenyapkan noda batin. Jika pandangan dan pemahaman menyimpang sedikit saja, maka kita akan menuju ketersesatan. Karena itu, kita harus sangat bersungguh hati mendengar Dharma karena jika menyimpang sedikit saja, maka sulit bagi kita untuk kembali ke jalan yang benar.
Contohnya sebuah kisah di dalam Sutra. Ada seorang tetua yang sangat berada. Dia adalah orang yang sangat lurus. Karena itu, raja mengangkatnya menjadi kepala suku. Di dalam suku itu, terdapat banyak brahmana yang sering datang mencarinya untuk berbagi ajaran dengannya.
Salah seorang brahmana berkata, "Orang-orang yang berperang untuk melindungi negerinya pasti terlahir di alam surga. Orang yang berani melompat ke dalam tungku api juga akan terlahir di alam surga." Tetua itu berpikir, "Saya sudah puas menikmati hidup di alam manusia. Di alam surga, saya dapat sangat panjang umur dan menikmati berkah yang berlimpah bagai Gunung Sumeru. Saya berharap dapat terlahir di alam surga."
Suatu hari, dia mengundang keluarganya, temannya, dan para praktisi brahmana. Mereka menggali sebuah lubang dan menata kayu berkualitas baik di dalamnya. Lokasi di sekelilingnya ditata dengan rapi. Dia juga mengundang seorang bhiksu. Saat api dinyalakan, bhiksu itu bertanya padanya, "Ada upacara apa?" "Saya berharap hari ini dapat terlahir di alam surga,” jawabnya.
"Apa Anda tahu jalan menuju surga?"
"Oh ya, saya tidak tahu jalan,” jawab dia.
Bhiksu itu kembali bertanya, "Siapa yang menyuruh Anda pergi ke surga?" Tetua ini menunjuk sepasang praktisi brahmana yang berdiri di kejauhan. Sepasang suami istri itu sudah berusia lanjut dan hidup kekurangan.
Bhiksu itu berkata, "Sepasang suami istri itu hidup begitu menderita. Mengapa mereka sendiri tidak ke alam surga untuk menikmati hidup?" Tetua itu pun tersadarkan. Dia berjalan ke hadapan brahmana itu. Sambil menarik tangannya, dia berkata, "Mari kita bersama-sama ke alam surga."
Praktisi brahmana itu segera mengibaskan tangan tetua dan berlari menjauh. Tetua itu pun sadar. Bhiksu itu berkata, "Buddha mengajarkan kepada kita untuk memahami penderitaan di dunia. Beliau juga mengajarkan kepada kita bahwa untuk terbebas dari penderitaan, kita harus terlebih dahulu melenyapkan noda batin. Kita harus tahu dari mana noda batin berasal. Ia berasal dari pikiran kita yang bergejolak."
Tetua itu merasakan sukacita dan merasa ajaran Buddha sangat masuk akal. Penderitaan di dalam kehidupan ini timbul mengikuti jalinan jodoh masing-masing. Benih apa yang kita tanam, itulah buah yang kita tuai. Ini baru masuk akal. Tetua itu pun memutuskan untuk menjadi murid Buddha.
Hampir saja tetua itu berjalan menyimpang. Hanya mendengar perkataan brahmana, tetua itu percaya bahwa dia dapat terlahir di alam surga dan mendapat banyak kenikmatan. Karena menganggapnya sebagai kebenaran, tetua itu hampir saja melompat ke dalam tungku api. Untungnya, bhiksu itu datang pada saat yang tepat sehingga dapat menyelamatkan kepala suku itu.
Kita harus tahu bahwa Buddha membimbing kita membangkitkan tekad untuk menapaki Jalan Bodhisatwa. Kita harus membangun ikrar luhur dan tidak semata-mata mementingkan diri atau mengikuti ajaran sesat. Kita harus mendengar dan menerima ajaran Buddha. Dalam melatih dan mendalami ajaran Buddha, kita harus bersungguh hati.
Pikiran yang menyimpang sedikit saja dapat membuat kita berjalan tersesat. Contohnya kisah yang saya ceritakan tadi. Di mana alam surga berada? Tidak tahu. Bhiksu itu berkata bahwa alam surga berjarak 3,36 juta kilometer dari sana. Sungguh sangat jauh. Bagaimana cara tetua itu menjangkau alam surga yang demikian jauh? Arah mana yang harus ditempuh? Dia juga tidak tahu.
Penerjemah: Hendry, Karlena, Marlina.
Dahulu saya sering berkata bahwa kita harus mencapai pencerahan sempurna yang penuh kebijaksanaan. Ini adalah tujuan kita. Selama lebih dari 40 tahun, Buddha menggunakan kebijaksanaan untuk membimbing kita secara perlahan-lahan agar memahami penderitaan hidup dan dari mana penderitaan berasal. Kebenaran ini tak terlepas dari hukum sebab akibat.
Kita harus percaya bahwa saat menanam benih baik, maka kita akan menuai buah baik. Begitu pula saat menanam buah buruk, kita akan menuai buah yang buruk. Kita harus mengetahuinya dengan jelas. Jadi, kita harus melatih diri dengan baik dan memilih arah yang benar tanpa menyimpang sedikit pun.
Saat sudah berada di jalan yang benar, janganlah kita merasa ragu dan enggan melangkah maju. Kita harus memahami prinsip kebenaran dan melenyapkan noda batin. Jika pandangan dan pemahaman menyimpang sedikit saja, maka kita akan menuju ketersesatan. Karena itu, kita harus sangat bersungguh hati mendengar Dharma karena jika menyimpang sedikit saja, maka sulit bagi kita untuk kembali ke jalan yang benar.
Contohnya sebuah kisah di dalam Sutra. Ada seorang tetua yang sangat berada. Dia adalah orang yang sangat lurus. Karena itu, raja mengangkatnya menjadi kepala suku. Di dalam suku itu, terdapat banyak brahmana yang sering datang mencarinya untuk berbagi ajaran dengannya.
Salah seorang brahmana berkata, "Orang-orang yang berperang untuk melindungi negerinya pasti terlahir di alam surga. Orang yang berani melompat ke dalam tungku api juga akan terlahir di alam surga." Tetua itu berpikir, "Saya sudah puas menikmati hidup di alam manusia. Di alam surga, saya dapat sangat panjang umur dan menikmati berkah yang berlimpah bagai Gunung Sumeru. Saya berharap dapat terlahir di alam surga."
Suatu hari, dia mengundang keluarganya, temannya, dan para praktisi brahmana. Mereka menggali sebuah lubang dan menata kayu berkualitas baik di dalamnya. Lokasi di sekelilingnya ditata dengan rapi. Dia juga mengundang seorang bhiksu. Saat api dinyalakan, bhiksu itu bertanya padanya, "Ada upacara apa?" "Saya berharap hari ini dapat terlahir di alam surga,” jawabnya.
"Apa Anda tahu jalan menuju surga?"
"Oh ya, saya tidak tahu jalan,” jawab dia.
Bhiksu itu kembali bertanya, "Siapa yang menyuruh Anda pergi ke surga?" Tetua ini menunjuk sepasang praktisi brahmana yang berdiri di kejauhan. Sepasang suami istri itu sudah berusia lanjut dan hidup kekurangan.
Bhiksu itu berkata, "Sepasang suami istri itu hidup begitu menderita. Mengapa mereka sendiri tidak ke alam surga untuk menikmati hidup?" Tetua itu pun tersadarkan. Dia berjalan ke hadapan brahmana itu. Sambil menarik tangannya, dia berkata, "Mari kita bersama-sama ke alam surga."
Praktisi brahmana itu segera mengibaskan tangan tetua dan berlari menjauh. Tetua itu pun sadar. Bhiksu itu berkata, "Buddha mengajarkan kepada kita untuk memahami penderitaan di dunia. Beliau juga mengajarkan kepada kita bahwa untuk terbebas dari penderitaan, kita harus terlebih dahulu melenyapkan noda batin. Kita harus tahu dari mana noda batin berasal. Ia berasal dari pikiran kita yang bergejolak."
Tetua itu merasakan sukacita dan merasa ajaran Buddha sangat masuk akal. Penderitaan di dalam kehidupan ini timbul mengikuti jalinan jodoh masing-masing. Benih apa yang kita tanam, itulah buah yang kita tuai. Ini baru masuk akal. Tetua itu pun memutuskan untuk menjadi murid Buddha.
Hampir saja tetua itu berjalan menyimpang. Hanya mendengar perkataan brahmana, tetua itu percaya bahwa dia dapat terlahir di alam surga dan mendapat banyak kenikmatan. Karena menganggapnya sebagai kebenaran, tetua itu hampir saja melompat ke dalam tungku api. Untungnya, bhiksu itu datang pada saat yang tepat sehingga dapat menyelamatkan kepala suku itu.
Kita harus tahu bahwa Buddha membimbing kita membangkitkan tekad untuk menapaki Jalan Bodhisatwa. Kita harus membangun ikrar luhur dan tidak semata-mata mementingkan diri atau mengikuti ajaran sesat. Kita harus mendengar dan menerima ajaran Buddha. Dalam melatih dan mendalami ajaran Buddha, kita harus bersungguh hati.
Pikiran yang menyimpang sedikit saja dapat membuat kita berjalan tersesat. Contohnya kisah yang saya ceritakan tadi. Di mana alam surga berada? Tidak tahu. Bhiksu itu berkata bahwa alam surga berjarak 3,36 juta kilometer dari sana. Sungguh sangat jauh. Bagaimana cara tetua itu menjangkau alam surga yang demikian jauh? Arah mana yang harus ditempuh? Dia juga tidak tahu.
Dia hanya menyalakan api dan ingin melompat ke dalamnya. Setelah melompat ke dalam tungku api, benarkah dia dapat terlahir di alam surga? Jadi, kita harus melihat jalan dengan jelas. Janganlah kita hanya mencari pencapaian pribadi. Kita juga jangan mengikuti ajaran sesat karena jika menyimpang sedikit saja, maka kita akan jauh tersesat. Harap semua orang senantiasa bersungguh hati.