Benih Tzu Chi masuk ke Indonesia pada tahun 1993, ketika Liang Cheung, seorang relawan Tzu Chi Taiwan, datang ke Indonesia mendampingi suaminya. Di sini ia berkenalan dengan istri dari pengusaha Taiwan. Liang Cheung kemudian mengajak mereka berpartisipasi menjadi donatur Tzu Chi. Lama-kelamaan, setelah mengamati penderitaan masyarakat di sekitarnya, para ibu rumah tangga ini berpikir, "Mengapa kita tidak melakukan kegiatan sosial di sini, di Indonesia?"
Pada tahun 1994, para ibu ini berkunjung ke Hualien, Taiwan untuk menemui Master Cheng Yen. Di sana mereka memohon restu untuk secara resmi mendirikan Tzu Chi di Indonesia. Saat itu Master Cheng Yen berpesan, "Bagi yang mencari nafkah di negeri orang, harus memanfaatkan potensi setempat, dan berkontribusi bagi penduduk setempat." Demikianlah para istri ekspatriat Taiwan ini membuka lahan cinta kasih di Indonesia. Hingga kini, meski berlabel yayasan Buddha, namun para donatur dan relawan Tzu Chi berasal dari berbagai agama. Begitu pun dalam setiap kegiatannya, tidak pernah memandang suku, agama, ras, dan golongan.
Setelah tiga tahun lebih menjalankan misi-misi Tzu Chi di Indonesia, pada tanggal 28 September 1997, Master Cheng Yen memberikan patung Buddha Avalokitesvara sebagai simbol pengakuan terhadap Tzu Chi Indonesia. Tanggal itu kemudian ditetapkan sebagai Hari Tzu Chi Indonesia.
Dimulai dari Jakarta, benih-benih Tzu Chi terus berkembang. Kini Tzu Chi Indonesia telah memiliki kantor cabang/kantor penghubung di 18 kota di Indonesia.
Sejak tahun 1993, relawan Tzu Chi sudah mulai bersumbangsih pada masyarakat di sekitar mereka. April 1994, Tzu Chi Indonesia mulai mengunjungi panti jompo secara rutin. Juli 1994, Tzu Chi mulai memberikan bantuan bencana berupa lampu petromaks pada korban bencana tsunami di Jawa Timur. Bulan Desember 1994 saat Gunung Merapi di Jawa Tengah meletus, Tzu Chi memberi bantuan kebutuhan hidup dan juga perumahan.
Banjir besar Jakarta awal tahun 2002 melatarbelakangi serangkaian program jangka panjang berskala besar. Pada Maret 2002, Tzu Chi membersihkan Kali Angke dan Kali Ciliwung. Kemudian pada Juli 2002, dimulai pembangunan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi bagi warga bantaran Kali Angke yang tinggal di daerah kumuh dan menjadi korban banjir.
Perumahan Cinta Kasih di Cengkareng, Jakarta Barat ini diresmikan Presiden Megawati Soekarno Putri tanggal 25 Agustus 2003, dan lengkap dengan poliklinik, sekolah, balai warga, musala, dan pusat daur ulang.
Hingga saat ini ada 18 Kantor Penghubung/Perwakilan Tzu Chi di Indonesia, seperti Tangerang, Bandung, Surabaya, Bali, Lampung, Palembang, Padang, Medan, Tebing Tinggi, Pekanbaru, Batam, Tanjung Balai Karimun, Tanjung Pinang, Makassar, Manado, Singkawang, dan Biak.
Adalah Liang Cheung, seorang donatur Tzu Chi Taiwan yang karena pekerjaan suami sehingga ikut suaminya datang dan tinggal di Indonesia. Karena keterbatasan bahasa, Liang Cheung hanya bisa mengajak ibu-ibu lainnya yang berkebangsaan sama dengannya untuk menjadi donatur Tzu Chi. Dari menyumbang dana, ibu-ibu ini pun mulai melakukan aktivitas sosial sederhana seperti berkunjung ke panti jompo dan panti asuhan, yang akhirnya menjadi kunjungan rutin. Panti Asuhan Yayasan Kampus Diakonia Modern berlokasi di Jati Rangon, Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat merupakan panti pertama yang mereka kunjungi.
Setelah menjalankan aktivitas sosial di Indonesia, para ibu ini kemudian berkunjung ke Hualien, Taiwan tahun 1994 untuk menemui Master Cheng Yen sekaligus memohon restu untuk secara resmi mendirikan Tzu Chi di Indonesia. Saat itu Master Cheng Yen berpesan, “Bagi yang mencari nafkah di negeri orang, harus memanfaatkan potensi setempat, dan berkontribusi bagi penduduk setempat.”
Hingga tanggal 28 September 1997, Master Cheng Yen memberikan patung Buddha Avalokitesvara sebagai simbol pengakuan terhadap Tzu Chi Indonesia. Tanggal 28 September kemudian ditetapkan sebagai hari Tzu Chi Indonesia. Sementara itu, ketika Liang Cheung harus kembali ke Taiwan bersama keluarganya, Liu Su Mei dipilih menjadi Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia hingga saat ini.
Jakarta Taipei School, yang berlokasi di Kelapa Gading, Jakarta Utara ini menjadi pilihan utama warga Taiwan yang menetap di Indonesia untuk menyekolahkan anak-anaknya. Tanggal 25 September 1994, untuk pertama kalinya diadakan Sosialisasi Tzu Chi dengan mengundang dua orang relawan Tzu Chi asal Singapura dengan meminjam tempat di aula sekolah. Sosialisasi ini secara berkala terus dilakukan untuk mengetuk hati para orang tua murid agar bersama-sama menjalankan misi kemanusiaan Tzu Chi di Indonesia.
Sesi sosialisasi pada tgl 9 Februari 1995 menghadirkan Yang Ruyun, relawan Tzu Chi asal Taiwan. Yang Ruyun yang suaminya merupakan warga negara Indonesia (asal Medan) juga sering datang ke Indonesia. Dialah yang kemudian mengajak dan memberikan buku donatur Tzu Chi kepada Chia Wen Yu untuk menggalang hati di Indonesia. Yang Ruyun terus memotivasi Wen Yu yang kemudian menjadi relawan komite pertama Indonesia.
Sementara itu di salah satu rumah di wilayah Kelapa Gading pula berbagai pertemuan diadakan, direncanakan, hingga kemudian kegiatan dilaksanakan. Rumah itu adalah milik Liu Su Mei, yang kini menjadi Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Lokasinya yang dekat dengan Jakarta Taipei School membuat para orang tua sering berkunjung ke rumahnya usai mengantar anak-anak mereka.
Meski saat itu masih belum terbentuk struktur dan kepengurusan di Indonesia, relawan Tzu Chi pada tanggal 20 Januari 1994 inisiatif memberi bantuan kepada korban banjir di Serang, Banten, berupa beras, sabun, susu, minyak goreng, gula pasir sebanyak 240 paket, dan 3 karung pakaian layak pakai. Saat itu Tzu Chi Indonesia meminta bantuan pada Tzu Chi Taiwan, juga dibantu oleh 2 relawan Tzu Chi Singapura. Kegiatan ini juga menjadi salah satu pendorong sehingga tanggal 27 Juli 1994, sembilan relawan Tzu Chi Indonesia pergi ke Taiwan untuk mendalami misi Tzu Chi, dan mempelajari lebih lanjut tentang prosedur dan tata cara pemberian bantuan Tzu Chi, dengan mengikuti pelatihan selama 7 hari di Hualien, Taiwan.
Di tahun ini setidaknya ada empat kegiatan pemberian bantuan tanggap darurat, selain bantuan di Serang (20 Januari), juga bantuan bagi korban tsunami di Jawa Timur (13 Juli), membantu seorang ibu yang mengalami kecelakaan mobil di Serang (24 September) dan dua kali memberi perhatian dan bantuan kemanusiaan kepada korban letusan Gunung Merapi di Yogyakarta ( 4 dan 13 Desember).
Sejak Oktober 1994, relawan juga mulai memberi perhatian kepada anak-anak di SDN Jembatan Baru, Jakarta Utara. Mulai dari memberikan beasiswa bagi siswa kurang mampu, hingga bantuan alat-alat kebersihan, perlengkapan di ruang guru, dan hadiah kepada murid-murid berprestasi. Tgl 12 Juli 1995, SDN Jembatan Baru mengalami kerusakan akibat banjir, Tzu Chi memberikan bantuan perbaikan gedung dan fasilitasnya.
Sejak letusan gunung Merapi pada 22 November 1994, Tzu Chi Taiwan meminta insan Tzu Chi Indonesia memberikan perhatian kepada para korban, saat itu tidak ada satupun relawan Tzu Chi ataupun kenalan yang tinggal di Yogyakarta. Tanggal 4 Desember setelah berkoordinasi dengan Departemen Sosial di Jakarta dan Dinas Sosial di Yogyakarta, relawan Tzu Chi datang melakukan survei.
Para relawan berdiskusi tentang cara mengirim barang-barang bantuan yang dibutuhkan dengan cepat. Ini adalah hal baru bagi mereka, mengirimkan bantuan dari Jakarta sampai ke Yogyakarta dengan jarak sekitar 500 km. Akhirnya barang bantuan dikemas dalam sebuah kontainer dan dikirim lewat jalur laut melalui bantuan dari kenalan seorang pengusaha Taiwan.
Tanggal 12 Desember 1994, barang bantuan tiba, terdiri dari 40 kontainer, berisi 1.650 handuk, 1.660 tikar, 12 kotak susu bayi, 2.000 makanan kaleng, dan tujuh karton besar sepatu (masing-masing 31 kotak). Dan 13 relawan Tzu Chi menyusul ke Yogyakarta dengan menggunakan pesawat. Setibanya di Yogyakarta mereka segera menuju kantor dinas sosial setempat. Hadirnya sekelompok relawan warga Taiwan yang membawa berbagai barang bantuan ini, membuat pihak dinas sosial merasa penasaran sekaligus terharu.
Bantuan kemudian dikirim ke titik-titik pengungsian, warga pun menyambut hangat tapi juga penasaran melihat sekelompok ibu keturunan Tionghoa, dengan Bahasa Indonesia serba terbatas serta mengenakan rompi berwarna kuning dengan huruf Mandarin datang mengunjungi mereka. Kegiatan pemberian bantuan yang sangat padat membuat makan siang pun terlewatkan. Para relawan baru bisa rehat di restoran dekat bandara menjelang sore. Meski semuanya merasa lelah, tetapi karena melakukan dengan tulus dan penuh sukacita maka yang ada hanyalah kebahagiaan.
Setahun pasca pemberian bantuan bagi korban letusan Gunung Merapi, hati para relawan masih tetap tinggal di tempat ini. Saat itu Pemerintah Daerah Yogyakarta mengadakan program pemindahan warga yang tinggal di “jalur lahar” atau “jalur awan panas”.
Tanggal 7 April 1995, relawan Tzu Chi kembali ke Yogyakarta untuk berkoordinasi dengan Dinas Sosial Yogyakarta mengenai proses rekonstruksi pascabencana yang akan dilakukan pemerintah. Ada beberapa pilihan yang ditawarkan pemerintah kepada warga, yakni mengikuti program transmigrasi atau direlokasi ke daerah yang lebih aman. Untuk relokasi, pemerintah menyediakan lahan dan membangun 706 rumah. Rumah ini tersedia gratis bagi penduduk. Pemerintah mengajak donatur maupun organisasi sosial untuk membantu pembangunan desa relokasi ini.
Relawan Tzu Chi berpartisipasi menyumbang dana untuk pembangunan 12 unit rumah. Rumah ini dibangun di daerah Wonokerto, Yogyakarta. Tanggal 5 September 1995, pembangunan 12 rumah ini selesai dan menjadi Rumah Cinta Kasih Tzu Chi pertama di Indonesia.
Dalam penanganan pasien pengobatan, Ferry menjadi pasien penerima bantuan pengobatan yang ditangani Tzu Chi secara jangka panjang dan menyeluruh untuk pertama kalinya. Selain bantuan pengobatan, relawan Tzu Chi juga memberikan pendampingan secara rutin ke rumahnya. Bahkan, di masa-masa awal, Tzu Chi Indonesia juga memberikan bantuan tunjangan hidup kepada keluarga Ferry sampai kemudian ayah Ferry bisa bekerja kembali dan mandiri.
Ferry mengalami kelainan tulang sejak lahir (Osteogenesis imperfecta). Penderita penyakit ini akan mengalami kerapuhan tulang sepanjang hidupnya. Penyakit ini juga membuat pertumbuhan tulang Ferry menjadi tidak normal (melengkung). Hal ini membuat Ferry hanya bisa duduk dan berbaring di tempat tidur. Sebuah kondisi yang membelenggu masa kanak-kanaknya. Ferry tidak bisa berjalan, berlari, dan bermain seperti anak-anak lainnya. Prihatin dengan kondisi Ferry, pada tanggal 24 Agustus 1995, relawan Tzu Chi Indonesia membantu pemasangan pen penyangga tulang pada kaki kanannya.
Setahun kemudian, dilakukan operasi lanjutan untuk memperbaiki kondisi kaki kanan Ferry yang melengkung. Operasi yang berlangsung selama 4 jam ini pun berjalan dengan baik dan lancar.
Tahun 1995-1996, relawan Tzu Chi Indonesia melakukan pengobatan Tuberkulosis (TBC) di kedua desa ini. Tanggal 3 November 1995, relawan Tzu Chi menemui dokter Tatang, Kepala Dinas Kesehatan Tangerang. Kurang lebih dua minggu kemudian, dilakukan sosialisasi kesehatan dengan meminjam salah satu sekolah dasar Desa Kiara Payung. Tim medis dan relawan kemudian melakukan sosialisasi kesehatan, serta memeriksa warga. Dari kedua desa ini ditemukan 196 pengidap TBC.
Relawan dan tim medis pun membentuk tim untuk mengobati dan memantau kesehatan warga kontiniu setiap 2 minggu sekali, selama 6 bulan. Selain itu, faktor asupan gizi sangat mendukung kesembuhan. Relawan menyediakan 1 kaleng susu bubuk berukuran 1 kg untuk setiap pasien. Tetapi karena warga tidak terbiasa minum susu maka banyak yang tidak meminumnya. Relawan kemudian mengganti susu bubuk dengan beras (10 kg). Pada pemeriksaan berikutnya, kondisi pasien mulai membaik. Suara batuk-batuk sudah berkurang. Ini membuat relawan semakin bersemangat, meski harus menempuh perjalanan selama 3 – 4 jam dari Jakarta.
Puncaknya, 30 Mei dan 3 Juni 1996, tim medis dan relawan membawa 184 pasien ke rumah sakit untuk rontgen dan pemeriksaan dahak. Hasilnya 108 orang dinyatakan sembuh total, dan 76 orang masa pengobatannya diperpanjang 3 bulan. Dengan dipantau tim medis dan relawan akhirnya kedua desa tersebut dinyatakan bersih dari TBC.
Februari 1996, empat orang relawan Tzu Chi Indonesia dilantik menjadi anggota komite untuk pertama kalinya. Liu Su Mei, Chang Chun Ying, dan Gao Pao Qin, ketiganya merupakan relawan Tzu Chi Indonesia berkebangsaan Taiwan, dan Chia Wen Yu, relawan berkebangsaan Indonesia. Pada saat itu jumlah relawan Tzu Chi Indonesia yang aktif sekitar 20 orang.
Sejak mengenal Tzu Chi, Chia Wenyu, relawan komite Tzu Chi Indonesia angkatan pertama di Indonesia selalu mempunyai keinginan untuk mempertemukan dua orang yang sangat dihormatinya, yaitu atasannya, Eka Tjipta Widjaja dengan gurunya, Master Cheng Yen.
Jumat, 9 Mei 1998, Eka Tjipta Widjaja bersama istri dan anak bungsunya, Franky O Widjaja bertemu dengan Master Cheng Yen. Eka Tjipta dan Master Cheng Yen menghabiskan waktu dua jam untuk berbincang. Saat itu Eka Tjipta mengatakan bahwa ia sudah bertemu dengan banyak tokoh penting baik Presiden, Perdana Menteri, dan lainnya. “Tapi tidak banyak yang seperti Master Cheng Yen, yang memberi tanpa pamrih, yang mengajarkan cinta kasih. Bertemu Master Cheng Yen, sudah sepantasnya kita memberi hormat,” ucapnya.
Selang beberapa hari sepulangnya Eka Tjipta dari Taiwan, krisis moneter di Indonesia memuncak dan berujung dengan kerusuhan serta tragedi kemanusiaan. Tzu Chi Indonesia yang saat itu relawannya masih didominasi para ibu rumah tangga mendapat dukungan penuh dari Sinarmas Grup dalam pembagian bantuan pascakrisis.
Dalam upaya menebar cinta kasih di tengah konflik, Tzu Chi Indonesia bertemu dengan banyak pihak dalam pemerintah, dari himpunan niat baik dari semua pihak sehingga pembagian bantuan pascakrisis dapat terlaksana. Masa ini juga menandai perkembangan Tzu Chi Indonesia, dimana Sinarmas Grup meminjamkan tempat yang memadai untuk menjadi kantor resmi Tzu Chi di Lt. 5 Gedung ITC Mangga Dua, Jakarta Pusat.
Pasca kerusuhan 1998, relawan Tzu Chi Indonesia bertanya kepada Master Cheng Yen apa yang seharusnya dilakukan oleh relawan Tzu Chi? Master Cheng Yen berkata, hanya cinta kasih-lah yang dapat meluluhkan kebencian. Walau kecemasan masih melanda namun relawan makin terdorong untuk bergerak. Semangat menebar cinta kasih tersulut bukan dari relawan Tzu Chi Indonesia saja. Sebanyak 78 relawan Tzu Chi (Taiwan, Malaysia, Australia, dan Amerika) justru menginjakkan kaki di Indonesia pada 8 Januari 1999 untuk menghadirkan kehangatan cinta kasih, di saat orang-orang memilih meninggalkan Indonesia.
Saat itu Liu Sumei secara optimis mengatakan bahwa, kerusuhan yang terjadi tidak akan menghentikan Tzu Chi Indonesia, bahkan Tzu Chi akan lebih aktif menebarkan cinta kasih menghapuskan bencana, dan mengikat jalinan jodoh baik. Cinta kasih itu diwujudkan dalam paket sembako yang dibagikan secara bertahap di berbagai titik. Pembagian keseluruhan 100.535 paket berlangsung dari Desember 1998 hingga Februari 1999. Momen ini berdekatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1419 Hijriyah yang jatuh pada 19-20 Januari 1999, saat di mana banyak masyarakat membutuhkan sembako untuk menyambut hari raya. Sebanyak 38.650 paket beras juga dibagikan kepada aparat TNI dan Polri yang telah bekerja keras menjaga keamanan sejak kerusuhan terjadi.
Selain relawan Tzu Chi dari luar negeri, 300 relawan dari Sinar Mas Grup turut serta membantu pendistribusian hingga pembagian bantuan. Kekuatan cinta kasih itu menambah kegembiraan dalam hati Eka Tjipta Widjaja (pendiri Sinar Mas Grup). Dirinya sangat terharu akan ketulusan para karyawannya ini.
Sepanjang tahun 1997 itu, Tzu Chi Indonesia menggelar 12 kali baksos, sebagian bekerja sama dengan Dinas Kesehatan Serang, dan sebagian bersama Walubi. Bermula dari pengalaman mengadakan baksos umum dan gigi, ditambah keprihatinan pada kondisi masyarakat, Tzu Chi mulai melangkah ke baksos “besar” yaitu yang mencakup tindakan operasi.
Baksos kesehatan pertama Tzu Chi dalam skala besar diadakan pada 18-21 Maret 1999 di Balaraja, Tangerang. Total melayani 9.481 pasien. Relawan Tzu Chi mencari pasien ke kampung-kampung, mendatangi rumah warga satu per satu untuk mendata apakah ada yang sakit atau tidak. Baksos ini juga dibantu tim medis dari Tzu Chi Taiwan, dr. Lin Cin Long (saat itu menjabat Wakil Kepala RS Tzu Chi Hualien) memimpin rombongan dari Taiwan berjumlah 57 orang. Mereka bergabung bersama tim dokter dari Tzu Chi Filipina dan Tzu Chi Amerika. Kedatangan tim medis dan relawan Internasional ini menambah semangat dan keyakinan relawan Tzu Chi Indonesia. Masukan dan arahan dari dr. Lin Cin Long dan Ruyin Shijie (yang mengoordinir relawan pendamping baksos), serta teladan pelayanan relawan Tzu Chi Taiwan turut membentuk pedoman pelaksanaan baksos kesehatan Tzu Chi Indonesia di masa mendatang.
Mematangkan rencana pembentukan asosiasi medis di Tzu Chi Indonesia, beberapa dokter dan relawan pergi ke Taiwan untuk mengikuti konferensi TIMA internasional tahun 2000. Pulang dari seminar tersebut, relawan dan dokter memperkuat tekad untuk membentuk TIMA. Setelah diskusi intensif, TIMA Indonesia resmi dibentuk pada 10 November 2002, dengan dr. Budiono Sp. B. sebagai ketua, dan dr. Hengky Ardono sebagai wakil, dengan jumlah anggota sebanyak 34 orang.
Banjir besar 2002 adalah banjir terparah di Jakarta selama 30 tahun terakhir. Relawan Tzu Chi memberi perhatian kepada korban banjir dengan membagikan nasi hangat dan air mineral. Pembagian bantuan untuk korban banjir dilakukan hingga tanggal 4 Februari 2002. Tzu Chi juga mengadakan baksos kesehatan dan melayani 3.381 pasien korban banjir.
Eka Tjipta Widjaja turut prihatin melihat korban banjir, lalu timbul gagasan untuk menyediakan tempat tinggal yang layak huni bagi mereka. Oleh Stephen Huang, Eka Tjipta dianjurkan untuk membicarakan hal ini langsung kepada Master Cheng Yen. Tanggal 5 Maret 2002, Eka Tjipta bersama istri, anak bungsunya Franky O.Widjaja, Liu Su Mei, dan sejumlah relawan lainnya berangkat ke Hualien menemui Master Cheng Yen. Master Cheng Yen kemudian memberikan arah tindakan yang jelas berupa 5 langkah penanggulangan yaitu: penyedotan genangan air, pembersihan sampah, penyemprotan pencegahan wabah, pengobatan, dan pembangunan perumahan (5P). Master Cheng Yen berharap Eka Tjipta dapat menghimbau dan mengajak para pengusaha di Indonesia untuk turut membantu.
Tiga tahap pertama yaitu pengeringan, pembersihan, dan penyemprotan mulai dilaksanakan relawan Tzu Chi pada Maret 2002 dibantu Aparat TNI di Kapuk Muara dan Pejagalan. Kemudian tahap keempat (pengobatan) dilaksanakan baksos pengobatan pada 19-21 April 2002 bekerja sama dengan Rumah Sakit QADR, Tangerang, dengan jumlah pasien 12.307 orang. Baksos ini dibantu oleh 350 relawan medis dari 5 negara, dan relawan non medis dari 8 negara.
Sebagai bentuk apresiasi terhadap upaya Tzu Chi untuk mengembalikan wajah cemerlang Kali Angke, Tanggal 19 Desember 2007 pemerintah DKI Jakarta mengubah nama sepenggal kali tersebut menjadi Kali Angke Tzu Chi, yang panjangnya 2,1 km, dengan batas dari Jembatan DHI (Duta Harapan Indah, Telukgong) sampai dengan jalan tol Prof. DR. Soedyatmo.
Sebagai lanjutan dari program 5P pasca banjir 2002, tahap terakhir sesuai arahan Master Cheng Yen adalah pembangunan perumahan. Eka Tjipta Widjaja saat itu secara pribadi menghubungi Sugianto Kusuma -seorang pengusaha properti sukses- untuk terlibat dalam program ini. Bersama Franky O. Widjaja, mereka menjadi dua pilar utama proyek Pembangunan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi.
Setelah mendapatkan tanah yang sesuai, maka dilakukan peletakan batu pertama pada tanggal 8 Juli 2002. Pendanaan proyek pembangunan ini pun berasal dari cinta kasih banyak orang. Sesuai arahan Master Cheng Yen, maka relawan Tzu Chi Indonesia pun menggalang dana untuk itu. Relawan pengusaha berusaha menginspirasi sesama pengusaha lewat sebuah konser amal bertajuk “Malam Cinta Kasih: Untuk Jakarta yang Lebih Cerah”. Tzu Chi Indonesia juga mencetak kupon dengan kategori Rp 10 ribu, Rp 100 ribu, dan Rp 1 juta. Lewat kupon ini relawan mengajak keluarga, teman, karyawan mereka, dan masyarakat umum untuk ikut serta. Semua upaya ini menciptakan guliran cinta kasih yang kuat.
Mulai Juli 2003, sebagian blok di Perumahan Cinta Kasih sudah siap ditempati. Saat penyerahan kunci, banyak warga yang merasa terharu. Memiliki rumah baru seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Rumah baru ini bahkan sudah ada perabotannya seperti meja, kursi, tempat tidur, lemari, dan kompor. Perumahan ini lalu diresmikan tanggal 25 Agustus 2003.
Melihat makin banyaknya relawan muda yang ikut serta dalam kegiatan Tzu Chi, timbul inisiatif untuk membentuk wadah khusus bagi relawan muda-mudi ini. Inisiatif dair Jhonny ini disambut baik oleh kalangan muda dan didukung para relawan senior Tzu Chi. Terbentuklah GMTC (Generasi Muda Tzu Chi). Launching keberadaan GMTC digelar pada 10 Mei 2003 dalam acara Pelatihan Relawan Biru Putih.
Relawan Tzu Chi, Wang Shuhui yang melihat keaktifan anak-anak muda ini, memiliki seorang anak seusia dengan mereka. Anaknya yang tinggal di Taiwan ini aktif di organisasi Tzu Ching di Taiwan. Wang Shuhui lalu mendorong agar anak-anak muda ini membentuk Tzu Ching Indonesia seperti yang ada di Taiwan.
Akhirnya setelah penyesuaian dan sejumlah persiapan, tanggal 7 September 2003, GMTC diresmikan menjadi Tzu Ching di Jakarta yang beranggotakan 32 orang, dengan Jhonny sebagai ketuanya.
Untuk mengenal lebih dalam tentang filosofi Tzu Chi dan kegiatan-kegiatan Tzu Ching Internasional, maka pengurus Tzu Ching Indonesia mengikuti kegiatan Tzu Ching Camp Internasional pada tahun 2004 di Taiwan. Atas himbauan dari Master Cheng Yen mengenai vegetarian dan pelestarian lingkungan, sepulangnya dari sana mereka berinisiatif menjadi pelopor dan penggerak ajakan bervegetaris, juga menggaungkan WAVES (We Are Vegetarian and Earth Saviors), dan banyak melakukan kegiatan pelestarian lingkungan.
Dari Mei 2003 hingga Agustus 2005, Tzu Chi Indonesia menyalurkan bantuan Beras Cinta Kasih sebanyak 50.000 ton beras dari Taiwan. Lebih dari 22.000 relawan dari berbagai kelompok, lapisan masyarakat, ras, agama, suku bangsa, dan pekerjaan menyatu dalam proyek berskala nasional pertama Tzu Chi Indonesia ini. pembagian kupon dari pintu ke pintu serta pembagian beras yang tak jarang diantar hingga ke rumah penerimanya bermaksud agar para relawan dapat terjun dan bersentuhan langsung dengan penderitaan sesama yang hidup dalam kekurangan.
Pembagian beras skala besar ini juga tak lepas dari dukungan relawan Grup Sinarmas. Mulai dari pengiriman beras ke berbagai wilayah di Indonesia, penyediaan gudang penyimpanan, pembuatan modul pembagian, hingga pelaksanaan pembagian menjadi ladang berkah yang digarap bersama relawan Tzu Chi dan relawan Grup Sinarmas. Pembagian beras cinta kasih ini juga menjadi benih awal berdirinya beberapa kantor cabang Tzu Chi. Jalinan jodoh dari butiran-butiran cinta kasih tumbuh menjadi barisan relawan Tzu Chi di berbagai kota.
Jalinan jodoh Tzu Chi Indonesia dengan Pesantren Nurul Iman dimulai sejak bulan Agustus 2003 berkat adanya Beras Cinta Kasih. Atas rekomendasi dari Menteri Sosial RI saat itu, Bachtiar Chamsyah, Tzu Chi menyalurkan beras cinta kasih sebanyak 50 ton tiap bulan selama satu tahun kepada pondok pesantren yang dipimpin oleh (alm) Dr. Habib Saggaf Mahadi bin Syekh Abubakar ini.
Berawal dari beras, Tzu Chi kemudian mengadakan baksos kesehatan mulai bulan Mei 2004. Fasilitas pesantren yang apa adanya sekaligus hunian yang padat kurang menunjang kesehatan para santri. Jumlah santri yang terus bertambah dari lima ribu, hingga sepuluh ribu, melahirkan masalah baru. Para santri terpaksa belajar berdesakan di ruang-ruang sempit. Maka, Tzu Chi kemudian membangun gedung sekolah baru di lahan kosong milik pesantren.
Setelah bantuan dalam bentuk fisik, Tzu Chi mendukung Pesantren Nurul Iman untuk membangun kemandirian. Relawan mendampingi dan membimbing para santri bercocok tanam di kebun mereka. Beberapa bibit disediakan oleh relawan, dan proses penanamannya dilakukan secara bersama-sama. Hasilnya pun cukup menunjang kebutuhan konsumsi para santri. Pesantren Nurul Iman terus berkembang. Kegiatan kewirausahaannya mencakup produk yang semakin beragam. Keterbukaan dan pluralisme yang menjadi pedoman pesantren untuk bekerja sama dengan berbagai pihak lintas agama termasuk Tzu Chi, membawa pesantren ini mewujudkan Islam yang berlandaskan kasih sayang.
Gempa berkekuatan 9.3 skala richter disusul tsunami pada 26 Desember 2004, memporak-porandakan Aceh. Dua hari kemudian relawan Tzu Chi tiba dengan membawa bantuan. Relawan Tzu Chi mendirikan posko-posko dan menyalurkan bantuan secara bertahap di kamp-kamp pengungsian. Tim medis dari TIMA Indonesia juga terlibat memberikan pengobatan untuk warga yang terluka maupun sakit.
Total logistik yang disalurkan untuk bantuan jangka pendek adlaah: beras 326.610 kg, mi instan 46.273 dus, air mineral 9445 dus, biskuit 7.581 dus, susu 11.423 kotak, pembalut wanita 31.000 bungkus, kantong jenazah 28.250 kantong, pakaian layak pakai 165 kg, dan obat-obatan 2.000 dus.Untuk bantuan jangka menengah, pada Februari 2005 Tzu Chi mendirikan kampung tenda sebanyak 3380 tenda yang tersebar di 4 titik di Banda Aceh dan Meulaboh. Untuk setiap blok yang terdiri dari 72 KK, disediakan 1 dapur umum serta 1 unit MCK yang terdiri dari 16 kamar mandi dan 16 buah kakus. Alas tenda juga dilapisi dengan papan serta dibuatkan instalasi listrik untuk penerangan dan keperluan lainnya.
Program terakhir untuk pemulihan kehidupan masyarakat Aceh secara utuh, Tzu Chi mendirikan 3.700 unit rumah hunian tetap yaitu di Banda Aceh (Panteriek) 710 unit, Aceh Besar (Neuheun) 2.000 unit, dan Aceh Barat (Meulaboh) 1.000 unit. Perumahan dilengkapi dengan sekolah, tempat ibadah, klinik, taman bermain, dan sarana olahraga.
Peletakan batu pertama Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Desa Panteriek, Banda Aceh dilaksanakan pada 24 September 2005 dan diresmikan pada 26 Desember 2005 dengan masuknya 120 keluarga sebagai tahap pertama. Proses pembangunan, seleksi warga, hingga penempatan rumah selanjutnya dilakukan secara bertahap. Diperlukan waktu selama 4 tahun untuk merampungkan itu semua.
Bebenah Kampung yang pertama dilakukan oleh Tzu Chi Indonesia di Dadap, Kampung Belakang, Jakarta. Tgl 17 Desember 2006, program pembangunan rumah pun dimulai setelah melakukan serangkaian survei.
Karena tingkat pendidikan dan penghasilan yang rendah, sulit bagi warga Kampung Belakang untuk memiliki rumah yang sehat dan layak huni. Untuk biaya hidup sehari-hari saja mereka kesulitan, dan hampir seluruh Kepala Keluarga yang dibantu, kebanyakan tidak tamat sekolah dasar. Kemiskinan membuat warga kehilangan kesempatan untuk hidup layak dan memperoleh pendidikan yang memadai. Mayoritas mata pencaharian mereka adalah: petani penggarap, pedagang, buruh, kuli panggul, tukang ojek, supir, kernet, dan pemulung.
Tanggal 18 Juli 2007, Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso mengukuhkan secara resmi ‘Hunian Kampung Belakang’. Selain menandatangani prasasti, Gubernur juga meninjau rumah-rumah warga yang telah direnovasi serta sarana prasarana lingkungan pendukungnya. Selain jalan beraspal, saluran air, lampu penerangan, dan gapura, hampir di setiap rumah warga kini ditanami pohon, baik bunga maupun buah-buahan.
Pada suatu kesempatan di tahun 2004, Master Cheng Yen mengatakan pada insan Tzu Chi Indonesia tentang kemungkinan sulitnya menyebarkan budaya kemanusiaan di Indonesia karena mereka tidak memiliki DAAl TV.
Kala itu Master hanya berkata dengan ringan, namun relawan mendengarkan dengan sepenuh hati. Begitu pulang, mereka secepatnya mempersiapkan pendirian DAAI TV. Insan Tzu Chi Indonesia mengajukan permohonan izin kepada pemerintah setempat, dan Gubernur DKI Jakarta memberikan izin terakhir untuk pendirian stasiun TV lokal kepada Tzu Chi. Setelah memperoleh izin, maka tanggal 25 Agustus 2007, DAAI TV Indonesia secara resmi diluncurkan di Jakarta. Benar (Zhen), bajik (Shan), dan indah (Mei), menjadi prinsip DAAl TV hingga kini.
Sejak tumbuh keinginan untuk memberikan tontonan yang menyejukkan dan jernih, banyak yang harus dipersiapkan sebelum mengudara, yaitu ruang, alat, dan sumber daya manusia. DAAl TV dipinjamkan tempat di Gedung ITC Mangga Dua Lantai 6 dengan 1 studio. Pembelanjaan peralatan dilakukan dalam beberapa tahap sesuai perkembangan kebutuhan dan jumlah karyawannya meningkat hampir 5 kali lipat dalam 2 tahun.
DAAl TV Indonesia mulai membuat program secara mandiri dan melakukan siaran percobaan di Indonesia sejak 20 Maret 2006. Pada periode itu, beberapa program-program baru pun mulai diproduksi, seperti: Mata Hati, Refleksi, Liputan Cilik, dan Talk Show Persiapan produksi drama perdana DAAl TV Indonesia pun segera dilakukan. Hingga tahun 2012 setelah memiliki tempat sendiri, kantor dan studio DAAI TV Indonesia pun pindah dari ITC Mangga Dua ke Tzu Chi Center, Pantai Indah Kapuk hingga kini.
Sejak Tzu Chi mengalami perkembangan cukup pesat, sudah muncul keinginan di benak Liu Su Mei (Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia) untuk bisa membeli tanah guna pembangunan Aula Jing Si yang akan menjadi pusat kegiatan relawan. Akhirnya tanah ini pun didapat dari donasi Sugianto Kusuma di daerah Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, seluas 10 hektar.
Dana pembangunan Aula Jing Si ini didapat dari kumpulan cinta kasih banyak orang, dari para pengusaha, juga dari masyarakat umum, baik itu melalui donasi langsung, atau melalui bazar dan donasi genteng. Peletakan batu pertama Aula Jing Si Indonesia pada tanggal 10 Mei 2009, dan diresmikan pada 7 Oktober 2012. Sekitar 6.000 orang menjadi saksi momen bersejarah ini, termasuk relawan dari luar negeri seperti Amerika Serikat, Filipina, Jepang, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Tiongkok.
Potensi Aula Jing Si digunakan semaksimal mungkin. Saat banjir melanda sebagian besar wilayah Jakarta pada Januari 2013 misalnya, Aula Jing Si menjadi tempat pengungsian sementara bagi warga. Pada Jumat, 18 Januari 2013, tidak kurang dari 175 relawan datang ke dapur Aula Jing Si untuk memasak sebanyak 2.570 nasi bungkus makan siang, dan 3.000 nasi bungkus untuk makan malam bagi warga korban banjir di Jakarta.
Dengan hadirnya Aula Jing Si semakin mengenalkan Tzu Chi kepada masyarakat salah satunya dengan banyaknya kunjungan. Berawal dari bangunan, berkunjung, lalu mendapatkan informasi tentang Yayasan Buddha Tzu Chi dan menyerap inspirasi cinta kasih universal.