Waisak Tzu Chi 2018: Memberikan Persembahan Pada Buddha (Bag. 1)
Jurnalis : Metta Wulandari, Fotografer : Arimami Suryo ADi tahun 2018 ini, ada dua sesi perayaan Waisak di Tzu Chi. Setiap sesinya ada 120 orang relawan pembawa persembahan berupa air, pelita (lilin), dan bunga.
Lancar dan khidmatnya Perayaan Hari Waisak, Hari Ibu Internasional, dan Hari Tzu Chi Sedunia yang diadakan di setiap hari Minggu di pekan kedua bulan Mei tidak lepas dari kesungguhan hati setiap relawan yang bertugas di berbagai titik. Ada relawan perlengkapan, alur, sound sistem, konsumsi, dan banyak lagi bagian lainnya. Satu lagi yang tidak pernah absen dalam setiap perayaan Waisak Tzu Chi adalah hadirnya relawan pembawa persembahan.
Di tahun 2018 ini, ada dua sesi perayaan Waisak di Tzu Chi di Aula Jing Si, Jakarta (13/5/18). Setiap sesinya ada 120 orang relawan pembawa persembahan berupa air, pelita (lilin), dan bunga. Apabila dijumlahkan, totalnya ada sebanyak 240 relawan. Masing-masing persembahan tersebut memiliki makna tersendiri.
Persembahan berupa air, pelita (lilin), dan bunga memiliki makna tersendiri. Air melambangkan satu pembersihan noda batin. Pelita atau lilin merupakan penerang. Sementara itu bunga, melambangkan harumnya Dharma yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Master Cheng Yen menjelaskan bahwa air melambangkan satu pembersihan noda batin. “Buddha berharap dapat menggunakan air Dharma untuk membasuh semua makhluk dan mengairi ladang batin setiap orang agar di dalam hati setiap orang tertanam kebenaran,” demikian Master Cheng Yen menjelaskan dalam satu ceramahnya.
Sedangkan pelita atau lilin merupakan penerang. Terangnya sinar Dharma menerangi seluruh dunia sehingga dunia menjadi lebih baik dan terbebas dari bencana. Sementara itu bunga, melambangkan harumnya Dharma yang menyebar ke seluruh penjuru dunia. Selain itu bunga juga melambangkan ketidakkekalan, layaknya hidup manusia, sehingga Master terus mengimbau para muridnya untuk bisa memanfaatkan waktu (selagi mempunyai kesempatan) dengan melakukan kebajikan dan membantu sesama.
Menggenggam Kesempatan yang Ada
Dalam setiap prosesi relawan menyentuh air melambangkan pembersihan batin diri sendiri, dan mengambil bunga yang melambangkan menerima harumnya kebajikan dan kebenaran.
Seperti yang dikatakan Master Cheng Yen untuk memanfaatkan waktu dan menggenggam kesempatan. Hal itulah yang dipraktikkan oleh Dokter Anthony Pratama, Sp. B., M. Kes., AIFO. Sebelumnya ia menolak ketika mendapat tawaran menjadi relawan pembawa persembahan. “Saya pikir, coba tawarkan yang lain dulu, yang beragama Buddha. Tapi ketika kedua kali tawaran itu mampir ke saya, saya langsung mengiyakan,” katanya. “Saya ingat kalau kita harus menggenggam kesempatan berbuat baik. Jadi ya okelah. Dan saya merasa luar biasa karena bisa ikut Waisak, berkumpul dengan orang-orang yang penuh cinta kasih,” lanjut dokter beragama Katholik tersebut.
Walaupun mempunyai keyakinan yang berbeda, Dokter Anthony mengaku tidak merasa terbebani. Dokter yang sudah lima tahun bergabung di Rumah Sakit Cinta kasih Tzu Chi Cengkareng ini yakin setiap agama mengajarkan sesuatu yang sama, yakni cinta kasih. Seperti Master Cheng Yen yang kerap mengatakan “Ai”, cinta kasih, begitulah esensi dari setiap agama.
Dokter Anthony Pratama (tengah), ikut dalam prosesi Waisak sesi pertama. Pada kesempatan itu, ia bertugas sebagai salah satu relawan pembawa persembahan.
Keyakinannya akan cinta kasih dan budaya humanis Tzu Chi tersebut kian kuat ketika dirinya mengikuti training misi kesehatan di Rumah Sakit Tzu Chi Taipei, September 2017 lalu. selama beberapa hari di sana, ia melihat langsung bagaimana Tzu Chi bekerja dengan mengedepankan cinta kasih dan budaya humanis.
“Yang paling berkesan adalah kami diajak untuk ke lokasi bedah rumah. Saya tidak menyangka kalau Direktur rumah sakit di sana ikut turun langsung. Sejak awal sampai akhir, dia ikut mendampingi kami,” kata dr. Anthony. “Saya pikir, saya di Tzu Chi Indonesia juga mau sama seperti itu. Ya minimal buat diri saya sendiri. Mengubah sesuatu yang buruk dalam diri pribadi menjadi lebih baik. Kalau saya bisa seperti itu, mudah-mudahan orang lain bisa ketularan,” imbuh dokter bedah ini.
Kini dengan penuh ketulusan hati ia belajar untuk mengasihi pasien sama seperti mengasihi keluarganya yang sedang diobati. “Master Cheng Yen mengatakan bahwa cinta kasih yang paling sulit adalah cinta kasih kepada orang lain, yang bukan siapa-siapa. Kalau kita bisa mencintai orang lain sama dengan mencintai keluarga kita, itu namanya welas asih agung,” ucapnya mengutip kata-kata Master Cheng Yen. “Ya saya berharap saya bisa menjadi dokter yang berwelas asih agung nantinya,” sambung dr. Anthony.